Jumat, 10 Juli 2015

Kenapa tidak ada UN di Gontor ?

sumber : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/galeri-foto-di-gontor-saat-tidak-ada-ujian-nasional-bagian-3_552a92dbf17e615d21d623d9

Ngomongin pendidikan dan pengajaran, saya sering gak nyambung dengan praksis pemerintah mengelola sekolah di tanah air. Hidup anak-anak itu, mulai dari mereka kenal huruf ABC di bangku SD sampai aktif berorganisasi di bangku SMA, seolah hanya untuk mengejar satu hal: Ujian Nasional. Ujian dibuat sebagai tujuan, bukan proses belajar. Sebagai target, bukan sarana. Ujian diposisikan sebagai satu-satunya cara mengidentifikasi keilmuan murid, bukan metode untuk membuat orang pintar. Posisi ujian berada di awal, bukan di akhir. Dengan kerangka berpikir begini, pendidikan dijalankan dalam bingkai ujian. Pengajaran pun dievaluasi lewat ujian di atas kertas yang hasilnya diukur dengan angka dan warna tinta. Guru dan kepala sekolah melakukan banyak hal (atau diyakini sebagai banyak inovasi) dalam rangka mensukseskan seremoni bernama ujian. Mau tahu ukuran suksesnya? Nilai sekolah. Semakin banyak siswa yang mendapat nilai tinggi, semakin besar kredibilitas sekolah, begitu berlaku sebaliknya. Maka digelarlah yang disebut dengan ulangan 1, ulangan 2 dan seterusnya. Lalu ada kursus Ujian Nasional yang diadakan guru (atau lembaga bimbel) secara personal. Pelajaran matematika dianggap segalanya. Jelang UN, diadakan simulasi atau pra-Ujian Nasional dengan maksud agar siswa siap luar-dalam menghadapi ujian sungguhan. Belum lagi try out demi try out yang digelar secara massal baik oleh lembaga plat merah maupun swasta. Tidakkah semua tradisi itu benar-benar telah menempatkan Ujian Nasional sebagai Dewa Pendidikan? Memang belum ada cara yang lebih efektif dalam mengukur keberhasilan proses belajar-mengajar di kelas selain lewat ujian. Juga tidak ada perangkat lebih canggih untuk menyeragamkan kualitas pengajaran (bukan pendidikan) dari ujung Sabang sampai ujung Merauke. Tapi apakah seperti ini implementasi dari evaluasi belajar di sekolah? Saya bukan pendidik meskipun pernah mengajar setahun dua tahun dalam rangka pengabdian dan persyaratan pendidikan sekolah. Maka daripada ngomongin teori ini dan itu terkait ujian nasional, ada baiknya saya bercerita bagaimana ujian sekolah diadakan di almamater Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebuah ujian yang menurut saya ideal dan layak diterapkan oleh pemerintah. Sebelum ngomongin soal ujian di Gontor, perlu diketahui bahwa di pondok ini tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Pondok mengadakan pembelajaran dengan caranya sendiri. Bahasa pengantar di sekolah juga mengacu pada standar sendiri, yaitu Bahasa Indonesia, Arab dan Inggris (sesuai kebutuhan mata pelajaran). Untuk ujian pun, semua dilaksanakan berdasarkan praktek dan sistem yang berlaku di Gontor. Tidak ada lembar-lembar soal UN berlabel Rahasia Negara yang dikirim ke pondok untuk dibagikan ke santri. Di tempat sekolah berasrama ini, yang sistem pengajarannya sudah mendapat pengakuan persamaan dari Departemen Agama (1998) dan penyetaraan dari Departemen Pendidikan (2000), berlaku falsafah yang dipegang teguh selama 87 tahun perjalanan pondok: "Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian". Falsafah ujian itu menyatu dengan motto pembelajaran lain, yaitu: "Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode"; "Pondok memberi kail, tidak memberi ikan"; "Ilmu bukan untuk ilmu tetapi untuk amal dan ibadah"; serta "Komposisi pelajaran di pondok adalah 100% agama dan 100% umum". Selama sekolah di Gontor, sama halnya dengan para siswa di pelosok dunia, saya mendapati ujian sebagai musim yang menggetarkan (lagi melelahkan). Sepuluh hari menjelang ujian, aktifitas ekstrakulikuler seperti kesenian dan olahraga diliburkan. Lampu-lampu dijalan ditambah agar tidak ada sejengkal pun ruang terbuka yang gelap di malam hari. Beberapa aktifitas rutin santri dihilangkan. Peraturan asrama sedikit dilonggarkan. Ujian adalah musim yang sama sekali berbeda. Pondok menyebutnya sebagai pesta. Pesta ilmu dan pelajaran. Ajang untuk menguasai dan memahami semua pelajaran yang sudah diberikan. Maka sepanjang musim, yang berlangsung selama sebulan penuh, Anda akan menemukan semua santri bertebaran di banyak sudut sambil memegang setumpuk buku. Di masjid, di lapangan, di bawah pohon, di tengah jalan, di mana-mana. Rutinitas pagi berubah. Dari masuk kelas jadi sesi belajar mandiri maupun berkelompok. Ada yang semangat membaca, tak sedikit yang semangat tidur. Tapi jangan harap bisa tidur lama, karena pengawas berkeliling ke setiap sudut pondok. Para guru diperintahkan untuk menyebar sepanjang malam. Mereka bertugas sebagai perpustakaan berjalan. Atau lebih tepatnya kelas berjalan. Pondok menyebutnya sebagai Gerakan "Belajar Keliling Malam". Jadi ketika anak-anak mau ujian, tidak ada ceritanya guru liburan. Mereka harus menyebar dan berbaur dengan santri. Kalau ada murid, murid dari kelas apapun, bertanya dan meminta penjelasan suatu pelajaran, sang guru harus siap menjelaskan sejelas-jelasnya. Tidak peduli si murid berasal dari kelas satu atau kelas lima. Karena pada dasarnya para guru adalah mantan santri yang sudah mempelajari dan dianggap menguasai semua pelajaran. Maka ada guru yang sengaja memilih satu rute atau satu kawasan asrama yang hanya diisi oleh kelas tertentu untuk menghindari pertanyaan dari kelas yang tidak begitu dikuasai. Selama ujian, santri diharapkan tidak menerima tamu. Atau, dengan kata lain, para wali santri diminta untuk tidak datang berkunjung selama masa ujian berlangsung. Karena dapat merusak konsentrasi belajar putra mereka.


Sebelumnya: Selama ini pemerintah terkesan menerapkan prinsip 'belajar untuk ujian'. Sementara di Pondok Modern Darussalam Gontor, ujian dilaksanakan dengan caranya sendiri dengan prinsip 'ujian untuk belajar'. Selama enam tahun belajar, santri tidak pernah sekalipun mengerjakan lembar Ujian Negara yang dibuat pemerintah. Lantas bagaimana sebenarnya praktek ujian di Gontor? Apa sih istimewanya? Ini dia lanjutannya. Ujian di Gontor diadakan dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu satu bulan penuh. Selama sebulan musim ujian, para santri mengikuti dua jenis ujian, yaitu ujian lisan (syafahi) selama sepuluh hari, dilanjutkan dengan ujian tulis (tahriri) selama 10 hari berikutnya. Lamanya waktu ujian mengkondisikan setiap santri dalam suasana belajar yang lebih intens. Di Gontor, ujian adalah momen yang paling krusial. Sebulan sebelumnya, pihak pondok mempublikasikan hitung mundur menuju musim ujian di papan tulis yang diletakkan di bawah masjid. Ujian Lisan Ujian lisan diadakan dalam rangka memupuk kepercayaan diri dan kematangan dalam penguasaan materi pelajaran. Tidak semua pelajaran diujikan secara lisan. Ujian lisan hanya meliputi tiga kelompok pelajaran, yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan alQuran. Materi Bahasa Arab terdiri atas pelajaran Muthola'ah (bacaan), Mahfudzat (hafalan), Nahwu, Sharf dan Balaghah. Materi ujian Bahasa Inggris meliputi reading, conversation, translation, vocabulary, dictation dan grammar. Sedangkan materi yang diujikan di kelompok alQuran meliputi tilawah (bacaan), hafalan (Juz Amma, zikir dan doa), Tajwid serta Fiqh. Selama ujian lisan berlangsung, ruang-ruang kelas disulap menjadi tempat wawancara. Satu santri berhadapan dengan 3-4 orang penguji dari kalangan guru dan kelas 6. Setiap pagi, para penguji dari kelas enam wajib menyiapkan ruangan. Sebersih dan seindah mungkin. Mereka juga harus membuat i'dat atau persiapan berisi materi ujian yang berisi rangkaian pertanyaan yang akan diajukan ke santri. Setiap hari, sedikitnya ada 10 santri yang diuji di satu ruangan. Ujian digelar dari pagi hingga siang hari. Para santri stand by di depan kelas sambil mengulangi pelajaran. Mereka mempersiapkan diri mati-matian agar bisa menjawab apapun pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut para penguji. Ada yang membuat simulasi tanya-jawab dengan temannya. Ada yang mencoba menggali informasi dari orang yang baru keluar dari ruang ujian. Untuk trik terakhir, tidak selamanya berhasil, karena penguji mempunyai banya stok pertanyaan, sehingga antara si A dan si B belum tentu mendapatkan pertanyaan yang sama dari tim penguji. Lamanya durasi per santri sangat tergantung pada penguji dan orang yang diuji. Biasanya, semakin tepat jawaban yang diberikan, semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut penguji. Itu artinya si santri sedang diuji batas kepintarannya, sampai dia merasa bahwa dirinya tidak sepintar yang dibayangkan. Metode ini diterapkan untuk mengontrol ego santri agar tidak menjadi gelas penuh yang sulit diisi dengan ilmu karena merasa sudah pintar. Ujian Tulis Dua hari berselang, ujian tulisan dilaksanakan secara serempak. Inilah ujian paling ketat yang pernah ada. Yang menihilkan upaya nyontek. Kelas-kelas berubah formasi. Meja-meja diatur terbalik: posisi laci menghadap ke depan, sehingga tidak ada ruang buat santri untuk menyembunyikan sesuatu di dalam laci. Setiap ruangan diawasi oleh lima orang pengawas, terdiri dari guru dan santri kelas enam. Mereka berkeliling memperhatikan gerak-gerik santri selama ujian berlangsung. Posisi santri juga diatur sedemikian rupa, sehingga setiap peserta ujian tidak duduk berdekatan dengan teman sekelasnya. Orang yang duduk di samping kanan-kiri, depan dan belakangnya, berasal dari kelas yang berbeda. Satu ruangan diisi oleh 20-30 santri dari beberapa kelas yang berbeda. Sebelum memasuki ruangan, semua buku dan catatan harus diletakkan di luar. Hanya alat tulis yang boleh masuk ruangan.

13667192582043992246
Ilustrasi pembagian kelompok ujian tulis Gontor yang diisi oleh murid kelas 1, 2 dan 3. (iskandarjet)
Kalau sampai ada santri yang ketahuan nyontek, langsung dikembalikan ke orang tuanya selama satu tahun alias di-skors! Jadi percuma saja nyontek, karena risikonya adalah mengulang kelas di tahun berikutnya. Setiap hari, ada tiga mata pelajaran yang diuji dengan durasi 90 menit untuk masing-masing pelajaran. Ujian di pondok tidak mengenal pilihan ganda sehingga strategi hitung kancing tidak berlaku di sini. Semua pertanyaan harus dijawab dalam bentuk esai. Soal dibuat oleh salah seorang guru yang penunjukannya dilakukan secara rahasia. Setiap santri menerima lembar soal dan lembar jawaban berbentuk kertas buram polos ukuran HVS. Di ujung atas kertas jawaban terdapat secarik kertas kecil berisi nomor induk santri dan nomor ujian. Kalau mau menambah kertas jawaban, tinggal angkat tangan, bisa minta sepuasnya. Beberapa pelajaran memang membutuhkan paparan panjang sehingga satu lembar sangat tidak cukup untuk menampung jawaban. Panitia juga menyediakan lem kertas yang dibuat massal dari tepung kanji. Santri dilarang menyantumkan nama di dalam lembar jawaban. Setelah jawaban dikumpulkan, petugas akan memberikan nomor pada lembar jawaban dan lembar kecil berisi identitas tadi. Guru pemeriksa hanya akan menerima lembar jawaban, sehingga dia tidak tahu pemiliknya sama sekali. Ini diterapkan untuk menghindari kolusi dan nepotisme antara guru dan muridnya. Bisa Anda bayangkan bagaimana kerja keras mereka dalam memeriksa lembar jawaban, karena tidak ada soal yang jawabannya hanya A, B, C atau D. Ujian Kelas 6 Gontor menggunakan kurikulum KMI (Kulliyyatul Mualimin al Islamiyyah), berlaku untuk kelas 1 (setingkat 1 SMP) sampai kelas 6 (setingkat 3 SMA). Ujian tulis untuk kelas enam merupakan ujian yang komprehensif, meliputi semua mata pelajaran yang sudah diajarkan di kelas satu sampai kelas 6. Karena banyaknya materi yang harus dipelajari, ujian tulis untuk kelas enam dibagi menjadi dua gelombang. Pada gelombang pertama yang diadakan di pertengahan tahun ajaran pertama, mereka mengikuti ujian untuk mata pelajaran umum dan beberapa pelajaran bahasa Arab. Mereka harus membaca semua buku dari kelas satu karena pertanyaan diambil dari semua tingkatan secara acak. Jumlah soalnya pun lebih banyak, sehingga waktu yang diberikan untuk satu pelajaran berlipat. Ujian untuk kelas enam diadakan sebelum ujian untuk santri-santri kelas di bawahnya. Karena setelah ujian, mereka harus bertugas menjadi penguji dan pengawas untuk ujian adik-adik kelas. Di pertengahan tahun ajaran kedua, santri kelas enam menghadapi ujian yang jauh lebih banyak. Selain ujian tulis gelombang kedua (berisi sisa mata pelajaran yang belum diujikan di gelombang pertama), siswa kelas enam juga harus lulus ujian Praktek Mengajar (amaliyyatut-tadris). Lalu ada juga ujian lisan yang lagi-lagi materinya diambil dari pelajaran kelas satu sampai kelas enam, plus materi ujian kepondokmodernan. Tidak berhenti sampai di situ, setiap santri yang ingin lulus dari Gontor harus membuat karya ilmiah dan mengikuti studi tur ke beberapa perusahaan dan mengunjungi pengusaha sukses di beberapa daerah. Dan masih banyak aktifitas pamungkas lain yang harus dituntaskan. Setelah semua ujian dilalui, tibalah pengumuman hasil ujian akhir. Santri yang mendapatkan nilai terbaik akan duduk di kelas B begitu seterusnya. Dengan adanya pembagian kelas berdasarkan hasil ujian ini, setiap tahun santri berlomba-lomba meraih hasil terbaik agar bisa duduk di kelas B, C, D (atau paling tidak satu-dua tingkat setelahnya). Pengumuman kelulusan untuk kelas enam juga dikelompokkan berdasarkan pencapaian nilai, yaitu mumtaz (istimewa), jayyid jiddan (baik sekali), jayid (baik), maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Namun harap dicatat, dalam memberikan penilaian, pondok tidak hanya mengacu pada hasil ujian lisan atau tulis semata, tapi juga mempertimbangkan budi pekerti santri.

KIPRAH ALUMNI GONTOR DI LUAR NEGERI

sumber : http://wardun.tripod.com/luar.htm


Keluarga Pondok di Luar Negeri

Dalam usianya yang hampir mencapai 80 tahun, sangat wajar jika Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) telah menghasilkan ribuan alumni, yang bukan hanya tersebar dan berjuang di dalam negeri, melainkan juga melanglang buana ke seluruh penjuru dunia. Aktivitas mereka bukan hanya menuntut ilmu, melainkan juga berdagang, bekerja pada suatu instansi, menjadi duta besar, konsul jendral, dan tentu saja juga ada yang menjadi guru, dosen, serta da‘i. Berikut informasi Keluarga PMDG di luar negeri yang beberapa waktu lalu menyampaikan informasinya kepada Redaksi Wardun, melalui jaringan e-mail, gontorians@yahoogroups.com.

MESIR

Di antara seluruh negara di dunia, agaknya Mesir adalah negara yang paling banyak terdapat alumni Gontor. Menurut informasi IKPM Cabang Cairo, terdapat sekitar 250 orang alumni Gontor di kota tersebut. Sebagian besar di antara mereka tengah menuntut ilmu di sejumlah perguruan tinggi, baik pada jenjang S1, S2, maupun S3, dan sebagian lainnya bekerja, terutama sebagai lokal staf di Kedutaan Besar RI di Cairo. Di antara yang dapat disebut adalah Saudara Nurkholis Mukti (1976, Kediri) dan Muhlason Jalaluddin (1987, Jombang), yang tengah bekerja di KBRI sambil melanjutkan studinya. Semoga berhasil dan segera kembali ke tanah air. Untuk berhubungan dengan keluarga Gontor di Cairo dapat mengirim e-mail ke alamat son7566@yahoo.com, dengan Saudara Muhlason Jalaluddin.

SAUDI ARABIA

Keluarga PMDG di negara ini termasuk paling banyak setelah Mesir dan Malaysia. Setidaknya, terdapat tiga kepengurusan IKPM di Saudi Arabia, yakni Riyadh, Medinah, dan Jeddah. Dari ketiganya, Riyadh saat ini menempati urutan pertama dengan alumni sebanyak 22 orang. Yang patut disyukuri, Duta Besar Republik Indonesia, beserta sekretarisnya untuk negara ini adalah alumnus Gontor, yaitu Bapak Maftuh Basuni. Demikian pula Kepala Konsulat Jenderal RI di Jeddah, beserta skretarisnya, adalah juga alumnus PM Gontor, yaitu Bapak Tajuddin Noor. Tak heran jika anak buahnya banyak yang alumni Gontor. Berikut nama dan angkatan kelulusan alumni Gontor di Riyadh, Madinah, dan Jeddah:

Riyadh

Di ibu kota Saudi Arabia ini tercatat sebanyak 22 orang alumni Gontor. Semuanya bekerja, dan sebagian besar bekerja di KBRI Riyadh, sedangkan lainnya bekerja pada sejumlah instansi perdagangan milik swasta. Berikut nama-nama mereka:
Maftuh Basuni (1960-an, Dubes) Asrori Afief (1969, Sekret. Dubes), M.A. Ritho Lidinillah (1975), Unsil Habieb Mansur (1980), Amanullah Halim (1989), Mahfudz A Makam (1993), Sugian Noor (1977), Juhadi Arrosyid (1996), Muh. Yusri Tamimi (1997), Muhammad Tukul (1981), Tata Suparta Yunani (1992), Jufriyanto (1981), Khoiruddin Hady (1988), A. Muhaimin (1989), Aries Abdullah (2000), Didi Mulyadi (1995), Raja Slamet (1993), Lutfi Tamimi (1981), Syihabuddin Muhammad (1986), Fauzi (1981), Nu‘aim Yazid (1990), Mastur (1990). Semoga kiprahnya memberi manfaat bagi ummat, dan PMDG, khususnya. Untuk berkomunikasi dengan IKPM Cabang Riyadh dapat mengontak al-akh Unsil Habieb Mansur, unsilhabieb@hotmail.com

Madinah
Terdapat delapan orang alumni Gontor yang tengah belajar di Jami‘ah Islamiyah Madinah. Yaitu, Ahmad Zainuddin (1997), Abdul Hayat Hanan (1996), Didi Darul Fidli (1999), Sofyan Sofi (1995), Abdullah Zaen (1998), Anas Burhanuddin (1998), Ahmad Daniel (1999), Ahmad Arifin (2001). Semoga Allah melancarkan studinya.
Jeddah
Tajuddien Noor, Sulton Salim (Islamic Development Bank, Jeddah), Yusuf Baweil (Toko Matahari, Jeddah), Damanhuri Mas’udi (KJRI Jeddah), Noor Habib (KJRI Jeddah), Burhanuddin Jakfar (KJRI Jeddah), Zainuri Harun Ibrahim (KJRI Jeddah), Mahdi Guna Mahyuddin (KJRI Jeddah), Matori Abdussyahid (KJRI Jeddah). Alamat e-mail IKPM Cabang Jeddah dapat ditujukan kepada al-akh Zainuri Harun Ibrahim abuzaki58@hotmail.com, Sekretaris Konjen. Semoga keberadaan mereka membawa manfaat bagi pondok, khususnya, dan ummat Islam, pada umumnya.
PAKISTAN
Saat ini, alumni Gontor di Pakistan berjumlah sekitar 40 orang —35 orang di Islamabad dan 5 orang di Lahore dan Karachi. Jumlah ini hampir setengah dari seluruh jumlah mahasiswa Indonesia di sana. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa International Islamic University, dan dua orang bekerja sebagai lokal staf di KBRI Pakistan. Sementara, mereka yang di Karachi, belajar di Abu Bakar University, dan ada juga yang mengikuti program Jamaah Tabligh.
Selain kegiatan pokok yang menunjang kegiatan belajar, seperti diskusi dalam bahasa Arab atau Inggris dan membaca koran Arab serta bedah buku, para anggota IKPM juga aktif dalam kegiatan masyarakat Indonesia KBRI.
Baru-baru ini, 11 orang alumni ISID dan 5 orang alumni KMI juga berangkat ke negara ini untuk melanjutkan studi. Semoga mereka berhasil dalam perjuangannya, serta kembali ke pondok dan masyarakat untuk mengamalkan ilmunya. Amien. Untuk menghubungi IKPM Pakistan dapat ditujukan kepada al-Akh Muhajirin, jeereen@yahoo.com
INDIA

Dua orang alumni ISID dan seorang alumni KMI tahun ini diterima studi di India. Yaitu, Imam Warmansyah (S2 Jurusan Bahasa Arab, Delhi University), Khuwailid (S2 Fakultas Teologi, Aligarh Muslim University), dan Romi Adetio (S1, Aligarh Muslim University). Sedangkan yang telah lebih dahulu berada di sana adalah saudara Sanuddin Ranam (Banten). Semoga di tahun-tahun mendatang selalu ada yang mengikuti jejak mereka.
MALAYSIA

Setelah Cairo, Mesir, Malaysia adalah negara yang paling banyak ditinggali alumni Gontor, baik yang asli Malaysia maupun yang asli Indonesia. Menurut catatan IKPM Cabang Malaysia, sebenarnya terdapat lebih dari 50 orang alumni Gontor yang berdiam di Malaysia —sebagian besar mahasiswa. Salah seorang di antaranya, Ust. Mohd. Masruh Ahmad, M.A. M.B.A. adalah anggota Badan Wakaf PMDG.

Yang patut disyukuri, dua orang alumni Gontor telah berhasil meraih gelar doktor, yaitu Dr. Usman Syihab, M.A. (1986, Lamongan), yang telah memperoleh gelar doktor dalam bidang Filsafat Islam di Universiti Malaya, dan Dr. Bambang Suryadi, M.Ed., (1988, Sragen), yang memperoleh gelar doktor dalam bidang Psikologi Pendidikan, juga dari Universiti Malaya. Sementara, salah seorang kader pondok, H. Hamid, Fahmy Zarkasyi, M.A. M.Phil., juga tengah menyelesaikan disertasinya di ISTAC. Semoga selesai dalam setahun ini.

Di negara bagian lain, Serawak, ada alumni yang cukup sering mengkhabarkan keberadaan dan aktivitasnya, yaitu Al-Akh Rahmat Abu Seman (1984, Bintulu, Serawak), alamat e-mail , sekaligus sebagai moderator milist gontorians@yahoogroups.com.

SINGAPURA

Singapura adalah salah satu negara di ASEAN yang umat Islamnya memiliki hubungan istimewa dengan PMDG. Hal itu berawal dari kiprah alumni Gontor di sana, yakni Saudara Abdul Manaf, pengurus Fellowship Singapore Moslem Student Association (FMSA), organisasi pelajar muslim Singapura, yang dalam beberapa tahun ini mengirim kadernya untuk belajar di Gontor, dan Saudara Abdussalam, yang menjadi Pengurus Muhammadiyah Singapura. Saat ini, lebih dari 10 orang siswa asal Singapura belajar di PMDG. Selain mengirimkan kadernya, dalam beberapa tahun terakhir ini, FMSA juga melakukan kerjasama dengan Gontor dalam pengiriman hewan Qurban.

BRUNEI DARUSSALAM

Sebagaimana Malaysia, di negara Brunei Darussalam juga banyak terdapat alumni Gontor. Bahkan, baru tahun 2001 lalu IKPM Cabang Brunei Darussalam diresmikan oleh Drs. H. Amal Fathullah, M.A. Berbagai profesi pun mereka emban. Berikut nama-nama alumni Gontor, anggota IKPM di Brunei Darussalam:

Prof. Dr. H. Iik Arifin Mansur Noor (1967, Guru), Edy Yusuf Taruna Jaya, (1975, Guru), H. Mar’ie Aly, Lc. (1989, Guru), Siswanto Suparno, (1986, Pengusaha), Mhd. Fauzi Nasution (1990, Dosen), Abdullah Yusuf Jakarta, (1991, Pengusaha), Rudy Effendy, (1992, Travel Biro), Rustam Efendi Harahap (1992, Guru), Harlan Hidayat Roha, (1993, Guru), dan Faqih Jalaluddin (1997, Guru). Alamat e-mail IKPM Brunei adalah nasution67@yahoo.com, atas nama Mohd. Fauzi Nasution.

ALUMNI GONTOR DI BEBERAPA NEGARA

Sebenarnya banyak alumni Gontor di beberapa negara. Namun sangat sedikit di antara mereka yang selalu mengabarkan keberadaannya. Kemungkinan besar mereka tidak sendiri. Berikut ini nama-nama alumni Gontor beserta nama negara dan alamat e-mail-nya: Zulkayan M. Yunus (1980, Jakarta) Firdauz Mukhtar (1990, Jakarta, firdaus@indonesianembassy.ae) di KBRI Uni Emirat Arab; Abdul Ghafur Surdani (1993, Jakarta), Mahasiswa The Faculty of Islamic Call Tripoli Libya, dan Muhammad Sahrul Murojab (1999), pegawai KBRI Tripoli, Libya, libya_ku@yahoo.com; Azhar Rifa‘ie (1989), KBRI Adis Abeba, Ethiopia; Lathoif Ghozali (1993, Lamongan) di Sudan; Arfan Marwazi Ismail Hasibuan (1991, Tapanuli, jimmyboy32@hotmail.com) di Phuket Thailand; Ahmad Furqan Noor (Kalimantan) di Denmark; Adi Sumandi (1988, Kuningan, noradism@yahoogroups.com), wiraswastawan dan belajar, dan Munawarliza Zain (1992, Aceh, warzain@netzero.net), yang bekerja sebagai Sekretaris Jenderal Aceh Center di Amerika Serikat; Abdul Qadir Salam (1990, Jepara), , di Afrika Selatan.

Saat ini para alumni Gontor di seluruh dunia selalu mengadakan silaturrahim melalui internet. Di antara alamat e-mail yang cukup ramai dikunjungi para alumni adalah gontorians@yahoogroups.com. Melalui e-mail tersebut dapat diperoleh sejumlah informasi tentang alumni maupun negara tempat mereka tinggal saat ini. Bagi pembaca Wardun yang ingin bersilaturrahim dengan para alumni, dapat mengirimkan e-mail ke alamat tersebut.

Itulah sebagian alumni Gontor di luar negeri yang dapat dijangkau beritanya oleh redaktur Wardun tahun ini. Tentunya masih banyak yang belum termuat dalam majalah ini. Semoga di tahun mendatang dapat memuat lebih komplit lagi.

IMUNISASI ANTI ALAY UNTUK ALUMNI GONTOR....?

sumber : http://nahyez613.blogspot.com/2012/02/imunisasi-anti-alay-untuk-alumni-gontor.html

(MENYEKOLAHKAN ANAK) KE GONTOR, APA YANG KAU CARI?
(MENYEKOLAHKAN ANAK) KE GONTOR, APA YANG KAU CARI?

Cara Gontor mendidik santri memang lain. Yang pasti, orang tua atau wali tidak boleh mengintervensi atau bahkan sekedar usul agar pondok begini atau begitu. Pun, tidak ada organisasi orangtua siswa di Gontor. Kalau memang percaya pada pondok, serahkan sepenuhnya pendidikan anak Bapak/Ibu kepada pondok. Jika tidak, silakan mencari tempat pendidikan lain. Ini sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Masalahnya, kalau diberi kesempatan usul, semua wali santri akan usul semua yang intinya justru mengedepankan egonya. Nah, ego itu yang di Gontor justru dipangkas habis. Pernah ada seorang wali calon pelajar yang anaknya baru saja diumumkan lulus diterima di Gontor usul kepada Pak Zarkasyi.

Katanya, "Pak Kasihan itu anak-anak. Kamarnya sempit, padat. Tidak nyaman untuk tidur. Sebaiknya pondok segera membangun gedung yang baru!"
Tak kurang akal, Pak Zar pun menjawab, "Yah, baru ini yang kami mampu. Untuk membangun gedung membutuhkan banyak biaya. Sementara, kalau toh mungkin, muridnya yang dikurangi."
Rupanya saang bapak tadi terpancing untuk kembali berbicara, "Oh, iya, itu saya setuju, Pak Kyai." Ucapnya.
Pak Zar kembali menawarkan, "Yang kalau begitu, bagaimana kalau yang dikurangi itu termasuk anak Bapak?"
Dengan serta merta, si bapak tadi menyahut, "Oh, jangan, jangan anak saya!"
Pak Zar pun terkekeh demi mendengar kata-kata bapak tadi. Apa kata Pak Zar di kesempatan lain? "Itulah manusia. Kalau usul muluk-muluk, tapi kalau sudah terkena pribadinya, dia tidak mau." Itu sekaligus merupakan gambaran nyata jika orang tua santri diberi kesempatan mengemukakan usulnya.

Yang jelas, sebagaimana dikatakan oleh Alm. K.H. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri PM Gontor, bahwa sistem pondok ini sudah benar lagi telah menghasilkan. Artinya, sudah banyak alumni Gontor yang berhasil di masyarakat, dengan predikat apapun. Yang melanjutkan ke perguruan tinggi hingga memperoleh gelar profesor, banyak; yang berwiraswasta dan berhasil menjadi milyarder, tidak sedikit; yang menjadi pejabat publik di lembaga formal maupun nonformal apalagi. Dan, jangan lupa. Yang bertekun menjadi guru ngaji di desanya; mengajar di madrasah kecil yang didirikannya, tanpa gaji dan insentif apapun, tak terhitung.

Intinya, mereka menjadi khayru al-nasi yanfa'uhum li al-nasi, 'bermanfaat bagi banyak orang.' Ada Ust. Dr. Shobahussurur Syamsi, Ketua Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru. Ada Pak Zainuri Harib dari Lampung yang puluhan tahun, sejak tamat KMI (hanya tamat KMI), menjadi sekretaris Konjen RI di Jeddah; Ada kakak kelasnya, Pak Emil Shamsuddin, yang 'bukan apa-apa' tetapi hampir sebulan sekali bersama keluarganya berjualan ke Australia, Belanda, dan sejumlah negara Barat lainnya. Ada juga Pak AM Fachir yang semasa di Gontor aktif pramuka dan mahir bermain sepakbola, kini menjadi Dubes di Kairo, Mesir. Ada juga Budi Mardiyah, alumnus Putri 1, yang menjadi Sekretaris Dubes Saudi Arabia di Jakarta, meskipun tidak pernah sekolah di negara Arab manapun. Namun, ada juga almarhum Pak Ihsanuddin dan Pak Samuri, yang menjaga saya semasa sekolah SMA di Madiun; imam mushalla kecil dekat stasiun kereta api, yang setiap waktu shalat, saya yang disuruh mengumandangkan adzannya. Dan masih banyak lagi.

Mengapa mereka bisa menjadi seperti itu? Gontor adalah lembaga pendidikan pesantren yang berorientasi life skill dan mental skil, dan bukan job skill, yang hanya berorientasi buruh, pejerka, bukan manajer. Gontor adalah tempat belajar hidup yang baik. Di Gontor, anak manusia dari berbagai suku dipersatukan, diorganisasikan, dibangun rasa ukhuwwah Islamiyahnya, diberi kegiatan yang beragam dan mendidik. Tak satupun aktivitas di pondok yang boleh tidak mendidik. Aktivitas itu merupakan praktik riil dari ilmu-ilmu yang dipelajari di bangku sekolah. Bahkan, anak-anak luar negeri pun, ketika berlatih pramuka hari Kamis siang, juga harus mengibarkan bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya. Semuanya akan membekas. Pelajaran Mahfuzhat, Muthala'ah, Ushul Fiqh, dsb., membekali dan selalu mneyertai hidup dan cara berfikir para alumni. Hingga orang sekelas alm. Nur Cholish Madjid, Cak Nun, atau Pak Hasyim Muzadi, dengan tegas mengatakan bahwa cara berfikir yang dipakai adalah cara berfikir Gontor.

Di Gontor pula anak-anak dilatih berorganisasi secara berjenjang. Awalnya tentu saja harus menjadi anggota. Setelah kelasnya agak tinggi, mulai menjadi pengurus asrama. Puncaknya, setelah kelas 5 dan 6, mereka harus menjadi pengurus pusat Organisasi Pelajar Pondok Modern Gontor (OPPM). Mereka harus "mau dipimpin, siap memimpin." Keikhlasan diletakkan sebagai dasar yang paling tinggi. Pengurus yang melanggar disiplin, atau kelas enam yang tidak lagi menjadi pengurus, harus rela kembali menjadi anggota, menjadi yang diatur. Pernah, ada siswa kelas enam melanggar disiplin, kemudian disidang dan diusir, dipulangkan oleh siswa kelas 5 yang tengah menjadi pengurus. Ini pengalaman yang mahal.

Yang harus dipahami, Gontor bukan tujuan akhir, melainkan baru sekedar dasar, demikian pendiri juga selalu mengatakannya. Bahasa Arab dan Inggris yang dipelajari di Gontor baru dasar, yang akan berguna untuk menjelajahi ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku-buku dan kitab-kitab. Maka, setamat Gontor, para alumni harus memanfaatkan dan mengembangkan dasar pengetahuan itu. Jangan sombong; merasa ilmunya telah cukup. Itu salah. Sebaliknya, tidak salah jika alumni Gontor melanjutkan ke pondok salaf, mengaji kitab-kitab kuning. Atau ke pondok lain untuk menghafal al-Qur'an, yang hal itu sengaja tidak dikembangkan di Gontor.

Yang paling banyak, memang, alumni Gontor menjadi wiraswastawan. Namun, mereka selalu mengingat pesan alm. Pak Zarkasyi, "Apapun aktivitasmu, jangan lupa mengajar!" Itu juga dilakukan oleh Pak Husnun, pengusaha pengecoran baja yang sukses, mendirikan sekolah sekaligus menjadi salah satu pengajarnya. Juga ada Pak H. Shodiq. Meskipun beliau hanya sampai kelas 5 KMI, kini menjadi orang kaya, pengusaha sukses dan berpengaruh; pengayom banyak orang dari berbagai lapisan: dari anggota DPR sampai tukang becak. Yang mesti diingat, mencari rizqi bukan untuk mencari kekayaan, melainkan sekedar untuk bekal beribadah, bekal berda'wah.

Pilih mana, tamat universitas tapi menganggur karena hanya mengandalkan ijazah, atau tamat Gontor tapi bisa apa saja, meski tanpa ijazah? Ijazah bagi Gontor bukan sesuatu yang diberikan pondok kepada alumninya, melainkan sebaliknya, apa yang dapat dipamerkan alumni kepada pondoknya. Dalam pengertian Gontor, ijazah adalah wujud atau peranan alumni di masyarakat; kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan alumni Gontor. Maka, semasa Pak Zarkasyi dulu, saya seringkali melihat para alumni datang kembali ke pondok, lantas sowan Pak Zar sambil memamerkan ijazahnya.

Ada yang melaporkan, "Alhamdulillah Ustadz, kami sekarang mengajar di Tsanawiyah Anu; di Aliyah Sana; menjadi Kepala Desa; berwiraswasta sambil mengelola madrasah." Mendengar itu semua Pak Zar sangat bersyukur, hasil didikannya terpakai, bermanfaat. Demi melihat kiprah alumni Gontor itu, beliau pun kerap mengatakan, "Apa yang di dalam dada ini, jauh lebih besar dari kata-kata."
Moga tulisan ini mampu meluruskan niat mereka yang sekolah Gontor atau yang (akan) menyekolahkan anaknya di Gontor.

Hanya, ketika saya tanya kepada isteri saya yang alumnus Putri 1, dan isteri adik saya, "Ke Gontor apa yang kau cari?" Jawabannya apa, "Mencari kau, Yang." Subhanallah!
Mohon doanya, moga kami istiqamah, sabar, kuat, ikhlas mengabdi di Pondok Modern Darussalam Gontor.