Jumat, 10 Juli 2015

Kenapa tidak ada UN di Gontor ?

sumber : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/galeri-foto-di-gontor-saat-tidak-ada-ujian-nasional-bagian-3_552a92dbf17e615d21d623d9

Ngomongin pendidikan dan pengajaran, saya sering gak nyambung dengan praksis pemerintah mengelola sekolah di tanah air. Hidup anak-anak itu, mulai dari mereka kenal huruf ABC di bangku SD sampai aktif berorganisasi di bangku SMA, seolah hanya untuk mengejar satu hal: Ujian Nasional. Ujian dibuat sebagai tujuan, bukan proses belajar. Sebagai target, bukan sarana. Ujian diposisikan sebagai satu-satunya cara mengidentifikasi keilmuan murid, bukan metode untuk membuat orang pintar. Posisi ujian berada di awal, bukan di akhir. Dengan kerangka berpikir begini, pendidikan dijalankan dalam bingkai ujian. Pengajaran pun dievaluasi lewat ujian di atas kertas yang hasilnya diukur dengan angka dan warna tinta. Guru dan kepala sekolah melakukan banyak hal (atau diyakini sebagai banyak inovasi) dalam rangka mensukseskan seremoni bernama ujian. Mau tahu ukuran suksesnya? Nilai sekolah. Semakin banyak siswa yang mendapat nilai tinggi, semakin besar kredibilitas sekolah, begitu berlaku sebaliknya. Maka digelarlah yang disebut dengan ulangan 1, ulangan 2 dan seterusnya. Lalu ada kursus Ujian Nasional yang diadakan guru (atau lembaga bimbel) secara personal. Pelajaran matematika dianggap segalanya. Jelang UN, diadakan simulasi atau pra-Ujian Nasional dengan maksud agar siswa siap luar-dalam menghadapi ujian sungguhan. Belum lagi try out demi try out yang digelar secara massal baik oleh lembaga plat merah maupun swasta. Tidakkah semua tradisi itu benar-benar telah menempatkan Ujian Nasional sebagai Dewa Pendidikan? Memang belum ada cara yang lebih efektif dalam mengukur keberhasilan proses belajar-mengajar di kelas selain lewat ujian. Juga tidak ada perangkat lebih canggih untuk menyeragamkan kualitas pengajaran (bukan pendidikan) dari ujung Sabang sampai ujung Merauke. Tapi apakah seperti ini implementasi dari evaluasi belajar di sekolah? Saya bukan pendidik meskipun pernah mengajar setahun dua tahun dalam rangka pengabdian dan persyaratan pendidikan sekolah. Maka daripada ngomongin teori ini dan itu terkait ujian nasional, ada baiknya saya bercerita bagaimana ujian sekolah diadakan di almamater Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebuah ujian yang menurut saya ideal dan layak diterapkan oleh pemerintah. Sebelum ngomongin soal ujian di Gontor, perlu diketahui bahwa di pondok ini tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Pondok mengadakan pembelajaran dengan caranya sendiri. Bahasa pengantar di sekolah juga mengacu pada standar sendiri, yaitu Bahasa Indonesia, Arab dan Inggris (sesuai kebutuhan mata pelajaran). Untuk ujian pun, semua dilaksanakan berdasarkan praktek dan sistem yang berlaku di Gontor. Tidak ada lembar-lembar soal UN berlabel Rahasia Negara yang dikirim ke pondok untuk dibagikan ke santri. Di tempat sekolah berasrama ini, yang sistem pengajarannya sudah mendapat pengakuan persamaan dari Departemen Agama (1998) dan penyetaraan dari Departemen Pendidikan (2000), berlaku falsafah yang dipegang teguh selama 87 tahun perjalanan pondok: "Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian". Falsafah ujian itu menyatu dengan motto pembelajaran lain, yaitu: "Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode"; "Pondok memberi kail, tidak memberi ikan"; "Ilmu bukan untuk ilmu tetapi untuk amal dan ibadah"; serta "Komposisi pelajaran di pondok adalah 100% agama dan 100% umum". Selama sekolah di Gontor, sama halnya dengan para siswa di pelosok dunia, saya mendapati ujian sebagai musim yang menggetarkan (lagi melelahkan). Sepuluh hari menjelang ujian, aktifitas ekstrakulikuler seperti kesenian dan olahraga diliburkan. Lampu-lampu dijalan ditambah agar tidak ada sejengkal pun ruang terbuka yang gelap di malam hari. Beberapa aktifitas rutin santri dihilangkan. Peraturan asrama sedikit dilonggarkan. Ujian adalah musim yang sama sekali berbeda. Pondok menyebutnya sebagai pesta. Pesta ilmu dan pelajaran. Ajang untuk menguasai dan memahami semua pelajaran yang sudah diberikan. Maka sepanjang musim, yang berlangsung selama sebulan penuh, Anda akan menemukan semua santri bertebaran di banyak sudut sambil memegang setumpuk buku. Di masjid, di lapangan, di bawah pohon, di tengah jalan, di mana-mana. Rutinitas pagi berubah. Dari masuk kelas jadi sesi belajar mandiri maupun berkelompok. Ada yang semangat membaca, tak sedikit yang semangat tidur. Tapi jangan harap bisa tidur lama, karena pengawas berkeliling ke setiap sudut pondok. Para guru diperintahkan untuk menyebar sepanjang malam. Mereka bertugas sebagai perpustakaan berjalan. Atau lebih tepatnya kelas berjalan. Pondok menyebutnya sebagai Gerakan "Belajar Keliling Malam". Jadi ketika anak-anak mau ujian, tidak ada ceritanya guru liburan. Mereka harus menyebar dan berbaur dengan santri. Kalau ada murid, murid dari kelas apapun, bertanya dan meminta penjelasan suatu pelajaran, sang guru harus siap menjelaskan sejelas-jelasnya. Tidak peduli si murid berasal dari kelas satu atau kelas lima. Karena pada dasarnya para guru adalah mantan santri yang sudah mempelajari dan dianggap menguasai semua pelajaran. Maka ada guru yang sengaja memilih satu rute atau satu kawasan asrama yang hanya diisi oleh kelas tertentu untuk menghindari pertanyaan dari kelas yang tidak begitu dikuasai. Selama ujian, santri diharapkan tidak menerima tamu. Atau, dengan kata lain, para wali santri diminta untuk tidak datang berkunjung selama masa ujian berlangsung. Karena dapat merusak konsentrasi belajar putra mereka.


Sebelumnya: Selama ini pemerintah terkesan menerapkan prinsip 'belajar untuk ujian'. Sementara di Pondok Modern Darussalam Gontor, ujian dilaksanakan dengan caranya sendiri dengan prinsip 'ujian untuk belajar'. Selama enam tahun belajar, santri tidak pernah sekalipun mengerjakan lembar Ujian Negara yang dibuat pemerintah. Lantas bagaimana sebenarnya praktek ujian di Gontor? Apa sih istimewanya? Ini dia lanjutannya. Ujian di Gontor diadakan dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu satu bulan penuh. Selama sebulan musim ujian, para santri mengikuti dua jenis ujian, yaitu ujian lisan (syafahi) selama sepuluh hari, dilanjutkan dengan ujian tulis (tahriri) selama 10 hari berikutnya. Lamanya waktu ujian mengkondisikan setiap santri dalam suasana belajar yang lebih intens. Di Gontor, ujian adalah momen yang paling krusial. Sebulan sebelumnya, pihak pondok mempublikasikan hitung mundur menuju musim ujian di papan tulis yang diletakkan di bawah masjid. Ujian Lisan Ujian lisan diadakan dalam rangka memupuk kepercayaan diri dan kematangan dalam penguasaan materi pelajaran. Tidak semua pelajaran diujikan secara lisan. Ujian lisan hanya meliputi tiga kelompok pelajaran, yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan alQuran. Materi Bahasa Arab terdiri atas pelajaran Muthola'ah (bacaan), Mahfudzat (hafalan), Nahwu, Sharf dan Balaghah. Materi ujian Bahasa Inggris meliputi reading, conversation, translation, vocabulary, dictation dan grammar. Sedangkan materi yang diujikan di kelompok alQuran meliputi tilawah (bacaan), hafalan (Juz Amma, zikir dan doa), Tajwid serta Fiqh. Selama ujian lisan berlangsung, ruang-ruang kelas disulap menjadi tempat wawancara. Satu santri berhadapan dengan 3-4 orang penguji dari kalangan guru dan kelas 6. Setiap pagi, para penguji dari kelas enam wajib menyiapkan ruangan. Sebersih dan seindah mungkin. Mereka juga harus membuat i'dat atau persiapan berisi materi ujian yang berisi rangkaian pertanyaan yang akan diajukan ke santri. Setiap hari, sedikitnya ada 10 santri yang diuji di satu ruangan. Ujian digelar dari pagi hingga siang hari. Para santri stand by di depan kelas sambil mengulangi pelajaran. Mereka mempersiapkan diri mati-matian agar bisa menjawab apapun pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut para penguji. Ada yang membuat simulasi tanya-jawab dengan temannya. Ada yang mencoba menggali informasi dari orang yang baru keluar dari ruang ujian. Untuk trik terakhir, tidak selamanya berhasil, karena penguji mempunyai banya stok pertanyaan, sehingga antara si A dan si B belum tentu mendapatkan pertanyaan yang sama dari tim penguji. Lamanya durasi per santri sangat tergantung pada penguji dan orang yang diuji. Biasanya, semakin tepat jawaban yang diberikan, semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut penguji. Itu artinya si santri sedang diuji batas kepintarannya, sampai dia merasa bahwa dirinya tidak sepintar yang dibayangkan. Metode ini diterapkan untuk mengontrol ego santri agar tidak menjadi gelas penuh yang sulit diisi dengan ilmu karena merasa sudah pintar. Ujian Tulis Dua hari berselang, ujian tulisan dilaksanakan secara serempak. Inilah ujian paling ketat yang pernah ada. Yang menihilkan upaya nyontek. Kelas-kelas berubah formasi. Meja-meja diatur terbalik: posisi laci menghadap ke depan, sehingga tidak ada ruang buat santri untuk menyembunyikan sesuatu di dalam laci. Setiap ruangan diawasi oleh lima orang pengawas, terdiri dari guru dan santri kelas enam. Mereka berkeliling memperhatikan gerak-gerik santri selama ujian berlangsung. Posisi santri juga diatur sedemikian rupa, sehingga setiap peserta ujian tidak duduk berdekatan dengan teman sekelasnya. Orang yang duduk di samping kanan-kiri, depan dan belakangnya, berasal dari kelas yang berbeda. Satu ruangan diisi oleh 20-30 santri dari beberapa kelas yang berbeda. Sebelum memasuki ruangan, semua buku dan catatan harus diletakkan di luar. Hanya alat tulis yang boleh masuk ruangan.

13667192582043992246
Ilustrasi pembagian kelompok ujian tulis Gontor yang diisi oleh murid kelas 1, 2 dan 3. (iskandarjet)
Kalau sampai ada santri yang ketahuan nyontek, langsung dikembalikan ke orang tuanya selama satu tahun alias di-skors! Jadi percuma saja nyontek, karena risikonya adalah mengulang kelas di tahun berikutnya. Setiap hari, ada tiga mata pelajaran yang diuji dengan durasi 90 menit untuk masing-masing pelajaran. Ujian di pondok tidak mengenal pilihan ganda sehingga strategi hitung kancing tidak berlaku di sini. Semua pertanyaan harus dijawab dalam bentuk esai. Soal dibuat oleh salah seorang guru yang penunjukannya dilakukan secara rahasia. Setiap santri menerima lembar soal dan lembar jawaban berbentuk kertas buram polos ukuran HVS. Di ujung atas kertas jawaban terdapat secarik kertas kecil berisi nomor induk santri dan nomor ujian. Kalau mau menambah kertas jawaban, tinggal angkat tangan, bisa minta sepuasnya. Beberapa pelajaran memang membutuhkan paparan panjang sehingga satu lembar sangat tidak cukup untuk menampung jawaban. Panitia juga menyediakan lem kertas yang dibuat massal dari tepung kanji. Santri dilarang menyantumkan nama di dalam lembar jawaban. Setelah jawaban dikumpulkan, petugas akan memberikan nomor pada lembar jawaban dan lembar kecil berisi identitas tadi. Guru pemeriksa hanya akan menerima lembar jawaban, sehingga dia tidak tahu pemiliknya sama sekali. Ini diterapkan untuk menghindari kolusi dan nepotisme antara guru dan muridnya. Bisa Anda bayangkan bagaimana kerja keras mereka dalam memeriksa lembar jawaban, karena tidak ada soal yang jawabannya hanya A, B, C atau D. Ujian Kelas 6 Gontor menggunakan kurikulum KMI (Kulliyyatul Mualimin al Islamiyyah), berlaku untuk kelas 1 (setingkat 1 SMP) sampai kelas 6 (setingkat 3 SMA). Ujian tulis untuk kelas enam merupakan ujian yang komprehensif, meliputi semua mata pelajaran yang sudah diajarkan di kelas satu sampai kelas 6. Karena banyaknya materi yang harus dipelajari, ujian tulis untuk kelas enam dibagi menjadi dua gelombang. Pada gelombang pertama yang diadakan di pertengahan tahun ajaran pertama, mereka mengikuti ujian untuk mata pelajaran umum dan beberapa pelajaran bahasa Arab. Mereka harus membaca semua buku dari kelas satu karena pertanyaan diambil dari semua tingkatan secara acak. Jumlah soalnya pun lebih banyak, sehingga waktu yang diberikan untuk satu pelajaran berlipat. Ujian untuk kelas enam diadakan sebelum ujian untuk santri-santri kelas di bawahnya. Karena setelah ujian, mereka harus bertugas menjadi penguji dan pengawas untuk ujian adik-adik kelas. Di pertengahan tahun ajaran kedua, santri kelas enam menghadapi ujian yang jauh lebih banyak. Selain ujian tulis gelombang kedua (berisi sisa mata pelajaran yang belum diujikan di gelombang pertama), siswa kelas enam juga harus lulus ujian Praktek Mengajar (amaliyyatut-tadris). Lalu ada juga ujian lisan yang lagi-lagi materinya diambil dari pelajaran kelas satu sampai kelas enam, plus materi ujian kepondokmodernan. Tidak berhenti sampai di situ, setiap santri yang ingin lulus dari Gontor harus membuat karya ilmiah dan mengikuti studi tur ke beberapa perusahaan dan mengunjungi pengusaha sukses di beberapa daerah. Dan masih banyak aktifitas pamungkas lain yang harus dituntaskan. Setelah semua ujian dilalui, tibalah pengumuman hasil ujian akhir. Santri yang mendapatkan nilai terbaik akan duduk di kelas B begitu seterusnya. Dengan adanya pembagian kelas berdasarkan hasil ujian ini, setiap tahun santri berlomba-lomba meraih hasil terbaik agar bisa duduk di kelas B, C, D (atau paling tidak satu-dua tingkat setelahnya). Pengumuman kelulusan untuk kelas enam juga dikelompokkan berdasarkan pencapaian nilai, yaitu mumtaz (istimewa), jayyid jiddan (baik sekali), jayid (baik), maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Namun harap dicatat, dalam memberikan penilaian, pondok tidak hanya mengacu pada hasil ujian lisan atau tulis semata, tapi juga mempertimbangkan budi pekerti santri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar